Kekasih,
Sebenarnya aku
ingin mengomentari setiap kali statusmu muncul di media sosial. Ingin sekali
aku mengomentari setiap statusmu dengan puisi-puisi indah Sapardi, misal “Aku
Mencintaimu” atau “Hujan Bulan Juni”. Sungguh keinginanku meronta-ronta agar
bait-bait indah itu terpampang di komentar statusmu. Agar apa? Agar dunia tahu
bahwa yang boleh menanggapimu hanyalah barisan kata indah yang tiada banding.
Kau hanya layak disandingkan dengan mutiara-mutiara aksara indah, bukan aksara
susunan alay anak remaja yang terkesan norak dengan stereotipe murahan.
Kekasih, aku tidak
ingin kisah asmara kita mirip kisah pedagang pasar yang ribut mempromosikan
dagangannya. Itu adalah alasanku mengapa aku hampir tidak pernah meninggalkan
jejak komentarku ada statusmu di media sosial. Terkadang aku heran melihat
sepasang kekasih yang bermesraan di media sosial dan mereka sebut itu kencan?
Online? Dengan rasa yang online juga?
Jujur saja, aku
selalu mengawasi gerak-gerikmu di media sosial. Aku selalu mencari perihal
apapun tentangmu, mulai makanan yang kau sukai, artis yang menjadi idolamu atau
sekedar merek sepatu favoritmu. Jangan kaget, bukankah cinta adalah cawan yang
berisikan anggur dengan tetesan-tetesan memabukkan? Dan engkau selalu saja
menganggap cintaku sebagai bagian dari hal bulshit revolusi industri
4.0. Apakah kisah Qois dari bani Amir tidak cukup untuk menjadi bukti kegilaan
para pecinta? Ah kau selalu saja bilang,
“Cinta telah musnah ratusan tahun lalu. Cinta hanya ada di
kisah-kisah kuno semisal Romeo-Juliet ataupun Ramayana.”
Kemudian kau menceritakanku kisah keganasan Casanova yang olehmu kau
sebut sebagai Monster Cinta. Aku hanya diam mematung saat kau bercerita
tentangnya, sebab aku hanya tahu Casanova sebagai seorang Begawan Cinta. Lalu
kau menyebutku sebagai contoh akibat malas literasi. Ah Kekasih, kau harus tahu
sejak pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015, setap hari aku selalu
membaca buku. Kau harus berkunjung ke rumahku agar tahu aku sedang membangun
sebuah perpustakaan pribadi yang kelak akan menjadi objek wisata yang langka,
mengingat kini orang-orang lebih menyukai buku elektronik daripada buku-buku
yang dicetak oleh penerbit. Lalu kau memberi alasan mengapa orang-orang lebih
tertarik kepada buku elektronik,
“Karena buku-buku kertas rentan terhadap serangan rayap.”
Bukankah buku elektronik juga rentan terhadapan serangan Trojan,
Worm ataupun FAT?
Tapi kau juga benar, aku harus mencari bahan literasi yang membahas
sepak terjang Casanova yang kau dan aku mempunyai perbedaan pandangan
terhadapnya. Casanova, kau harus kugali lebih dalam agar aku tahu siapa
sebenarnya kau ini.
“Giacomo Girolamo Casanova” kau
menuliskannya pada secarik kertas agar aku dapat mengingat kembali namanya. Ah
darimana kau tahu bahwa aku ini adalah seorang pelupa?
Sekian dulu Kekasih suratku ini padamu, aku janji
akan lebih banyak membaca buku-buku yang menyangkut tentang kehidupan Casanova.
Terima Kasih.
By the way, suratku kali ini tidak diantar oleh tukang pos seperti
suratku kemarin, melainkan dengan burung merpatiku yang bernama “Joker”. Ia
pasti kabur setelah mengetuk pintu rumahmu, sebab Joker muak dengan wajah para
pecinta yang dianggap hanya ada dalam dongeng.
Omah Wetan, Kamis,
25 Juni 2020
I like it
ReplyDelete