Salam dariku untukmu, seorang yang belum kuketahui namanya.
Kekasih, senja tadi datang dengan disertai oleh
hempasan angin yang menerpa wajahmu dan mengibaskan rambut hitammu. Kau
terlihat begitu anggun dengan hitam pekat rambut itu. Seketika itu, kulihat
langit membelah dan sesosok Bathara Kamajaya,
Dewa Cinta melepaskan anak panahnya ke hati ini, menusuk begitu dalam.
Dan saat angin
nakal itu menerpamu, wajahmu sejenak menoleh ke arahku. Saat itu aku tahu,
bahwa wajahmu mirip seperti bidadari kahyangan yang sering diceritakan oleh Pak
Dalang tempo hari. Wajahmu bak wajah Dewi Sinta yang dirinya sukses menyebabkan
perang besar antara prajurit wanara melampan para raksasa Alengka. Dan dari
wajahmu aku rasa kau berasal dari ras Arya kuno yang sering digaung-gaungkan
oleh Nazi Jerman saat perang dunia dua,
Oh ya Kekasih,
aku yakin logikamu masih bertanya-tanya tentang siapa yang menulis surat ini?
Apakah kau tak ingat lelaki yang mengucapkan sepatah kata, “Hai” tadi? Apakah
kau tak ingat saat kau mengatakan, “Mas siapa ya?” kepada seorang lelaki yang
membuatnya tak berkedip selama beberapa saat?
Aku harap kau
mengingatnya.
Keindahanmu
sungguh mempesona, maka dalam surat ini kupersembahkan bagimu sebuah cermin
agar kau dapat mengenali keindahanmu sendiri. Keindahanmu itu menyebabkan para
mawar merah yang kutanam di depan rumahku menangis pilu karena mereka kini tahu
bahwa ada sesuatu yang lebih indah dari mereka. Mereka kini tidak mau
memekarkan kelopak bunganya karena malu terhadap dunia. Sungguh malang nasib
mereka.
Dan yang
terpenting, bolehkah aku mengenal namamu agar dapat kunamai kisah cinta kita
ini.
Aku yakin kau
di seberang sana pasti berkata “Ah kisah cinta? Kita saja masih belum tahu nama
satu sama lain. toh kita juga baru berkenalan tidak lebih dari empat jam yang
lalu.”
Ah Kekasih, Aku
yakin kau tertawa terpingkal-pingkal disana.
Aku yakin kau
menuduhku sebagai orang yang logikanya perlu dipertanyakan. Kau harus tahu
Kekasih, jangan tanyakan logika kepada para pecinta. Dalam cinta, logika telah
mati. Pemabuk sejati adalah para pecinta.
Kembali lagi
soal nama. Siapa namamu kekasih? Bolehkah kutahu namamu barang hanya nama depan
saja? Kau boleh saja menjawabnya dengan teka-teki seperti yang dilakukakan oleh
anak-anak kecil. Kau boleh saja membalas suratku ini dengan sebuah
tebak-tebakkan, “ Namaku adalah warna-warni yang indah, dihasilkan oleh
pembiasan sinar matahari yang dibelokkan, siapakah aku?” Maka esoknya aku akan
menjawab, “Pelangi”.
Atau kau bisa
datang langsung kerumahku dan bermain tebak-tebakkan denganku, “Namaku adalah
keadaaan kosong yang diinginkan oleh
setiap orang.” Maka aku akan langsung menjawab, “Hening”.
Oh ya aku hampir
lupa, akan kita namai apa kisah cinta kita? Dan bolehkah dalam ketidak tahuanku
kupanggil kau dengan “Laila”, sebagaimana Qois sang Majnun memanggil
kekasihnya. Kau sebagai Laila dan aku sebagai Majnun, karena aku sama majnun-nya.
Atau pilihan
kedua bisa jadi kupanggil saja dirimu dengan “Isolde”, dan aku pun akan menjadi
Tristannya. Aku telah siap untuk mencintaimu hingga napas terakhirku.
Kau juga bisa
memilih pilihan ketiga, kau ingin kupanggil dengan sebutan “Juliet”, dan aku akan memeberikanmu mawar merah berduri
sebagaimana yang Romeo lakukan.
Dan aku yakin
kau akan memilih pilihan keempat, kisah cinta tanpa nama.
Aku yakin kau
tak akan mau disamakan dengna wanita sekelas Laila, Isolde maupun Juliet, sebab
keindahanmu melebihi mereka semua. Toh, kisah cinta kita akan lebih dahsyat.
Sebelumnya
kekasih, aku sempat memikirkan opsi kelima tentang nama kisah cinta kita. Aku
mempunyai ide dengan memberi kisah cinta “Aku dan Kau.” Aku ya aku dan kau yang
sampai detik ini belum kuketahui namanya.
Tetapi lepas
dari itu semua. Dalam cinta, nama tidaklah penting. Karena mencintai seseorang
tidak harus mengenal namanya. Puncak dari sebuah Nirwanaku adalah mencintaimu:
esensimu, bukan namamu.
Pokoknya aku
mencintaimu.
Sekian.
Dengan segenap
rindu.
Omah Wetan, 19 Juni 2020
Comments
Post a Comment