Suratku untuk Sang Kekasih: Antara Nama dan Cinta (1)


Jangan Menghalalkan Segalanya Atas Nama Cinta
Salam dariku untukmu, seorang yang belum kuketahui namanya.
            Kekasih,  senja tadi datang dengan disertai oleh hempasan angin yang menerpa wajahmu dan mengibaskan rambut hitammu. Kau terlihat begitu anggun dengan hitam pekat rambut itu. Seketika itu, kulihat langit membelah dan sesosok Bathara Kamajaya,  Dewa Cinta melepaskan anak panahnya ke hati ini, menusuk begitu dalam.
            Dan saat angin nakal itu menerpamu, wajahmu sejenak menoleh ke arahku. Saat itu aku tahu, bahwa wajahmu mirip seperti bidadari kahyangan yang sering diceritakan oleh Pak Dalang tempo hari. Wajahmu bak wajah Dewi Sinta yang dirinya sukses menyebabkan perang besar antara prajurit wanara melampan para raksasa Alengka. Dan dari wajahmu aku rasa kau berasal dari ras Arya kuno yang sering digaung-gaungkan oleh Nazi Jerman saat perang dunia dua,
Oh ya Kekasih, aku yakin logikamu masih bertanya-tanya tentang siapa yang menulis surat ini? Apakah kau tak ingat lelaki yang mengucapkan sepatah kata, “Hai” tadi? Apakah kau tak ingat saat kau mengatakan, “Mas siapa ya?” kepada seorang lelaki yang membuatnya tak berkedip selama beberapa saat?
Aku harap kau mengingatnya.
Keindahanmu sungguh mempesona, maka dalam surat ini kupersembahkan bagimu sebuah cermin agar kau dapat mengenali keindahanmu sendiri. Keindahanmu itu menyebabkan para mawar merah yang kutanam di depan rumahku menangis pilu karena mereka kini tahu bahwa ada sesuatu yang lebih indah dari mereka. Mereka kini tidak mau memekarkan kelopak bunganya karena malu terhadap dunia. Sungguh malang nasib mereka.
Dan yang terpenting, bolehkah aku mengenal namamu agar dapat kunamai kisah cinta kita ini.
Aku yakin kau di seberang sana pasti berkata “Ah kisah cinta? Kita saja masih belum tahu nama satu sama lain. toh kita juga baru berkenalan tidak lebih dari empat jam yang lalu.”
Ah Kekasih, Aku yakin kau tertawa terpingkal-pingkal disana.
Aku yakin kau menuduhku sebagai orang yang logikanya perlu dipertanyakan. Kau harus tahu Kekasih, jangan tanyakan logika kepada para pecinta. Dalam cinta, logika telah mati. Pemabuk sejati adalah para pecinta.
Kembali lagi soal nama. Siapa namamu kekasih? Bolehkah kutahu namamu barang hanya nama depan saja? Kau boleh saja menjawabnya dengan teka-teki seperti yang dilakukakan oleh anak-anak kecil. Kau boleh saja membalas suratku ini dengan sebuah tebak-tebakkan, “ Namaku adalah warna-warni yang indah, dihasilkan oleh pembiasan sinar matahari yang dibelokkan, siapakah aku?” Maka esoknya aku akan menjawab, “Pelangi”.
Atau kau bisa datang langsung kerumahku dan bermain tebak-tebakkan denganku, “Namaku adalah keadaaan kosong  yang diinginkan oleh setiap orang.” Maka aku akan langsung menjawab, “Hening”.
Oh ya aku hampir lupa, akan kita namai apa kisah cinta kita? Dan bolehkah dalam ketidak tahuanku kupanggil kau dengan “Laila”, sebagaimana Qois sang Majnun memanggil kekasihnya. Kau sebagai Laila dan aku sebagai Majnun, karena aku sama majnun-nya.
Atau pilihan kedua bisa jadi kupanggil saja dirimu dengan “Isolde”, dan aku pun akan menjadi Tristannya. Aku telah siap untuk mencintaimu hingga napas terakhirku.
Kau juga bisa memilih pilihan ketiga, kau ingin kupanggil dengan sebutan “Juliet”, dan  aku akan memeberikanmu mawar merah berduri sebagaimana yang Romeo lakukan.
Dan aku yakin kau akan memilih pilihan keempat, kisah cinta tanpa nama.
Aku yakin kau tak akan mau disamakan dengna wanita sekelas Laila, Isolde maupun Juliet, sebab keindahanmu melebihi mereka semua. Toh, kisah cinta kita akan lebih dahsyat.
Sebelumnya kekasih, aku sempat memikirkan opsi kelima tentang nama kisah cinta kita. Aku mempunyai ide dengan memberi kisah cinta “Aku dan Kau.” Aku ya aku dan kau yang sampai detik ini belum kuketahui namanya.
Tetapi lepas dari itu semua. Dalam cinta, nama tidaklah penting. Karena mencintai seseorang tidak harus mengenal namanya. Puncak dari sebuah Nirwanaku adalah mencintaimu: esensimu, bukan namamu.
Pokoknya aku mencintaimu.
Sekian.
Dengan segenap rindu.
Omah Wetan, 19 Juni 2020

Comments